Oleh Subiharta
- Pendahuluan
Ajaran restorative justice berasal dari Canada, Australia, New Zealand dan lnggris. Kata dalam bahasa lndonesia keadilan restorative. Ajaran keadilan antara lain attributive justice, distributive justice, social justice dan sebagainya. Restorative justice pada hakekatnya merupakan penataan kembali agar pemidanaan lebih adil baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat. Sesungguhnya restorative justice bukan hanya masalah pemidanaan tetapi berkaitan dengan seluruh System Peradilan Pidana (SPP). Sehingga restorative justice sebagai upaya bagi proses penyelesaian perkara pidana yang responsive sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman. Sistem pemidanaan sekarang belum berhasil, bahkan ada yang mengatakan gagal dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan, Sebagian terdakwa setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan masih saja melakukan kejahatan dengan alasan ia tidak diterima oleh masyarakat, sulit mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Angka kejahatan di masyarakat dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, berdesaknya penghuni di Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) mengindikasikan gagalnya penegakan hukum di tanah air. Penegakan hukum yang kaku (strict) menyebabkan ruang bagi penyelesaian non hukum (non penal) berkurang (tertutup), padahal di Negara Anglo Saxon dikenal pley hargaining system (pernyataan pengakuan bersalah dari terdakwa) sehingga proses perkara menjadi cepat selesai dan terdakwa dapat dijatuhi pidana denda atau tindakan lainnya. Di beberapa negara lain dengan adanya permberian maaf dari korban maka terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana, atau kalau memang dijatuhi hukuman cukup dihukum untuk melakukan kerja sosial. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum idealnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sejiwa dan sejalan dengan ajaran restorative justice. Kriminalisasi terhadap anak sejauh mungkin dikurangi kalau tidak bisa dihapus. Anak sebagai generasi muda bangsa jiwanya masih sangat labil, maka langkah non penal lebih utama untuk dilakukan. Pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remidium) hendaknya bukan suatu wacana tetapi suatu aksi, meskipun perlu juga ditelaah kasus per kasus.
- 2. Gagasan dan Prinsip Restorative Justice
Gagasan dan prinsip restorative justice meliputi:
Pertama : Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok masyarakat
dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku,
korban dan masyarakat sebagai “stakeholders” yang bekerja sama dan langsung
berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak
(win-win solution).
Kedua Mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak
pidana yang telah menimbulkan cedera, ataukerugian terhadap korban. Selanjutnya
membangun tanggung jawab,tidak lagi mengulangi perbuatan pidana yang pernah
dilakukannya.
Ketiga: Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk
pelanggaran hukum, melainkan sebagaipelanggaran oleh seorang (sekelompok
orang). Karena itu sudah semestinya pelaku diarahkan pada pertanggungjawaban
terhadap korban, bukan mengutamakan pertanggungjawaban hukum.
Keempat: Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara
yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara yang
formal (kaku) dan impersonal.
- 3. Kekhawatiran ajaran Restorative Justice
Pertama: konsep restorative justice dapat mengendorkan kepastian hukum dan konsistensi.
Penegakan hukum menjadi begitu subyektif bergantung .kepada “stakeholders”
yang terlibat dalam penyelesaian kasus.
Kedua: konsep “restorative justice” dapat mengendorkan peraturan hukum, khususnya
peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu kasus. Hal ini akan
mempengaruhi asas “nullum delictum ….” dalam pemidanaan;
Ketiga: konsep “restorative justice” akan mengubah sifat hukum pidana sebagai
” menjadi seperti hukum perdata yang bersifat terbuka (open
system). Hubungan dan akibat hukum terutama ditentukan oleh kehendak pihak-
pihak. Pembatasan hanya dalam bentuk larangan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan imperative yang diatur dalam undang-
undang.
- 4. Hukum Progresif dalam Menghadapi Kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu system hukum positif (pen.kriminalisasi) sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakan peraturan dan system yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada peraturan yang tidak berlaku (black letter law, law on paper, law in the book), Hukum hanya menjadi janji-janji dan akan menjadi kenyataan (in action) apabila. ada campur tangan manusia. Hukum progresif berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi lahirnya hukum yang berpihak pada keadilan, ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses secara pidana atau tidak? Kalau diproses secara pidana apa parameternya? Kalau tidak juga perlu parametemya.Sesungguhnya apabila ada suatu kasus maka UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian R.l. memberikan wewenang kepada kepolisian untuk mengeluarkan deskresi. Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dasar masyarakat yaitu:
Pertama: Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif;
Kedua: Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi
dan melindungi integritas hukum itu sendiri.
Ketiga: Hukum responsive, yaitu hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-
ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum responsive terbuka terhadap
perubahan-perubahan masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada usaha
meringankan beban kehidupan sosial dan mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial,
seperti keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok sosial yang dikesampingkan
dan diterlantarkan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
- 5. Penutup
Ajaran restorative justice pada hakekatnya merupakan ajaran yang menghendaki agar hukum yang dibuat oleh manusia diperuntukan bagi kemaslahatan manusia. Ajaran restorative justice merupakan koreksi terhadap produk hukum yang represif, hukum yang berpihak pada hukum ansich. Padahal hukum adalah buatan manusia diharapkan untuk mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi manusia. Hukum progresif dan hukum responsive pada hakekatnya merupakan implementasi dari ajaran restorative justice.
Ajaran restorative justice memperhatikan berbagai aspek yang ada (stakeholders) yaitu memperhatikan terhadap pelaku perbuatan pidana, korban (victim), masyarakat (social), lingkungan dan penegak hukum dan penegakan hukum. Restorative justice apabila dilaksanakan ada kekhawatiran bagi semakin terbukanya hukum pidana (hukum public), padahal secara teori hukum publik adalah bersifat tertutup disebabkan aturan yang dilanggar adalah aturan negara, maka kepentingan masyarakat luas yang dilanggar. Agar restorative justice bisa dilaksanakan dengan baik maka perlu pengkajian yang mendalam, legislasi yang baik dan benar, penegakan hukum yang baik terhadap berbagai masalah hukum pidana termasuk di dalamnya terhadap Sistem Peradilan Pidana Anak. Semoga tulisan singkat ini memberikan manfaat bagi pengabdian kita kepada bangsa dan Negard,amien.